Skip to content Skip to footer

TINJUAUAN BUKU ROHANI: KEBAIKAN ALLAH VS PENDERITAAN

PENGALAMAN ADALAH GURU YANG BAIK

kalamhidup.com – Tidak banyak buku yang mengulas topik penderitaan, apalagi jika dikomparasi dengan kebaikan Allah. Satu di antara yang sedikit tersebut adalah buku rohani dari Penerbit Kalam Hidup yang berjudul Kebaikan Allah vs Penderitaan. Penulis buku ini patut diacungi dua jempol karena tulisannya tidak melulu teoretis, tetapi juga berangkat dari pengalaman penderitaan yang dialaminya. Pertama, bersumber dari kematian putra sulungnya akibat penyakit dan, kedua, dari kematian putra keduanya yang mengalami gangguan metabolisme yang sangat langka. Kedua pengalaman pahit tersebut telah mendatangkan kerinduan bagi dia untuk mencari kehendak Allah sebagai sumber pertolongan dan kekuatan ketika berada di fase kehilangan yang sangat berat. Ia berharap pengalaman dan perenungannya akan firman Tuhan dapat menjadi referensi yang berguna untuk menolong dan membalut hati sesama yang menderita sehingga  tidak terus tenggelam dalam kesedihan, tetapi bangkit melanjutkan kehidupan.

Buku Rohani Kristen tentang Kebaikan AllahTINJAUAN BUKU ROHANI

Judul              : KEBAIKAN ALLAH VS PENDERITAAN

Pengarang      : David B. Biebel

Penerbit          : Kalam Hidup, 216 halaman

Mungkin di sekeliling kita saat ini ada orang-orang yang menderita karena berbagai masalah kehidupan. Apa pun masalahnya, penderitaan itu tetap saja terasa sama: memilukan hati. Manusia memang tidak kebal dan rentan terhadap penderitaan. Orang percaya yang tulus, yang patuh pada firman Tuhan, rajin ke gereja, dan aktif dalam pelayanan pun sangat mungkin mengalami penderitaan. Bahkan, menurut Joseph Parker, “Ada hati yang hancur di setiap bangku gereja (hlm.11). Bisa jadi keadaan itu masih tetap sama hingga sekarang ini. Oleh sebab itu,  buku yang menarik ini dapat menjadi referensi yang tepat karena memberikan harapan manakala penderitaan datang mendera, dan kabar baiknya adalah selalu ada pertolongan bagi kita jika kita menemukan dan mengenal Yesus, Pribadi yang telah menderita karena dosa dan pelanggaran kita sehingga kita pun dapat dibuat menjadi pribadi yang utuh kembali.

Rekomendasi Buku : Tulus Tu’u, Makna Penderitaan (Bandung: Penerbit Kalam Hidup)

BELAJAR DI UNIVERSITAS PENDERITAAN

Ada tiga tema penting tentang “kehilangan” sebagai dampak penderitaan yang diulas dalam buku ini. Bagian pertama menegaskan bahwa perasaan kehilangan merupakan penderitaan yang mendera batin yang jamak dialami manusia. Menurut penulis, hal itu merupakan dinamika kehidupan yang kadang tak terelakkan dan harus dijalani karena hal itu itu merupakan “Universitas Penderitaan” yang akan mengasah seseorang menjadi pribadi yang tangguh. Penderitaan sejatinya adalah situasi mendasar yang membingungkan sekaligus berbahaya bagi mereka yang mengalaminya. Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika ada orang yang tertekan, stress, depresi, dan tidak mampu melarikan diri dari penderitaan meskipun banyak obsesi untuk menghilangkannya. Sakit penyakit, kematian, perpisahan, perceraian, perselingkuhan, pengkhianatan, kehancuran ekonomi, atau kehilangan lainnya, semua itu merupakan realitas hidup yang potensial menimbulkan masalah berat jika tak tertangani dengan baik.

Dalam kondisi terpuruk mungkin ada orang yang datang dengan nasihat menghibur dengan perkataan seperti ini, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan” atau “Pandanglah terus kepada Yesus, maka semua akan baik-baik saja”. Nasihat dan dukungan moral seperti itu memang dibutuhkan. Namun, berapa banyak orang yang sungguh-sungguh merasakan kesedihan dan mau berbagi atau yang sama-sama mau menangis dengan mereka yang menderita? Fakta hidup menunjukkan bahwa ketika kita berada di “Universitas Penderitaan”, sering kita justru berjuang sendirian. Universitas Penderitaan memang merupakan ekosistem yang harus dijalani dengan penuh kesadaran bahwa pada akhirnya kita akan sampai di titik akhir dengan kemungkinan kita lulus ujian atau gagal melewatinya.

Di dalam Universitas Penderitaan ditawarkan berbagai kurikulum menarik, yaitu  ketika perasaan kehilangan itu datang, kita telah siap untuk menghadapinya karena kita sudah belajar cara menerima konsekuensi logis dari setiap krisis yang terjadi. Kita tidak lagi galau berkepanjangan atau kebingungan karena pikiran kacau. Pemelajaran di Universitas Penderitaan akan membekali siapa pun sehingga mampu mengendalikan diri dari perilaku dan tindakan yang merusak. Oleh sebab itu,  untuk menyatukan kembali serpihan-serpihan hati yang hancur akibat kehilangan, kita membutuhkan penguatan dan topangan dari Pribadi yang bisa diandalkan.

KETIKA PENDERITAAN TERJADI, SAYA HARUS BERBUAT APA?

Bagian kedua buku ini diawali dengan dialog singkat yang terjadi di sebuah rumah sakit antara seorang dokter Kristen dan seorang ibu yang anaknya baru saja meninggal. Sambil berlutut di depan ibu itu, dokter Kristen mencoba menghibur, “Allah mengasihi ibu”, katanya. Dengan menatap langsung ke matanya, ibu itu menjawab dengan ketus, “Saya benci kepada Allah”.

Dialog di atas menegaskan dua prinsip/pelajaran penting yang diperoleh dari Universitas Penderitaan: Prinsip pertama ialah Allah mengasihi kita. Prinsip kedua ialah pengalaman yang kita alami di Universitas Penderitaan itu kadang terasa bertentangan dengan prinsip yang pertama dan hal itu seringkali sulit diterima. Paradoks itu tentu merupakan hal yang faktual manakala kita menyelidiki cakrawala kehidupan dengan jujur dan tulus. Di sana akan ditemukan bahwa realitas kehidupan acap kali mengarah pada kondisi yang membuat manusia secara umum mengeluh dalam tanya. Coba simak perkataan Musa ketika ia meninjau kembali kehidupannya: “Sungguh, segala hari kami berlalu karena gemas-Mu, kami menghabiskan tahun-tahun kami seperti keluh. Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan, sebab berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap” (Mzm. 90:9–10).

 Ungkapan hati Musa di atas sejujurnya membenarkan anggapan bahwa kenyataan hidup kadang tidak semulus yang diinginkan karena yang tampak adalah hal-hal yang menyusahkan. Lalu, bagaimana kita dapat yakin bahwa Allah mengasihi kita? Bagaimana pula dengan ajaran Kristen dan nasihat pribadi yang cenderung berfokus hanya pada introspeksi diri dan pembaruan pola pikir sementara luka-luka di sisi emosional yang memerlukan penyembuhan justru diabaikan? Situasi seperti itu tak pelak membuat pikiran buntu, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa.

Melalui buku ini, penulis membagikan pengalamannya setelah satu dasawarsa melakukan pengembaraan pribadi. Akhirnya, ia sampai pada satu simpulan bahwa persepsi dan realitas tentang kasih Allah dalam maknanya yang paling dalam dapat ditemukan di Universitas Penderitaan. Alasannya: Pertama,  saya tahu Allah mengasihi saya karena Ia hadir di sini di tengah pergumulan dan penderitaan saya. Bahkan, Ia tidak pernah meninggalkan dan membiarkan saya sendirian untuk sekadar bertahan hidup. Kedua, sebagai anggota keluarga Allah, Ia memberi saya firman-Nya –sesuatu yang tidak tergoyakan di saat menghadapi pergolakkan. Ia juga memberikan sebuah peta topografi yang memperlihatkan pedoman ke arah mana saya harus melangkah untuk menemukan jalan keluar. Ketiga, saya bisa belajar bahwa melalui penderitaan, Allah menunjukkan siapa diri saya sebenarnya dan mengokohkan harapan untuk kehidupan ke depan yang lebih baik. Intinya, penulis buku ini ingin mengatakan bahwa kadangkala Allah memilih untuk membiarkan kita melewati proses pemurnian, penempaan untuk membuang segala kotoran lewat api peleburan, sehingga kita pada akhirnya menjadi pribadi yang berkualitas tinggi. Seperti Ayub berkata, “Seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas” (Ayb. 23:10). Memang ada banyak protes dan pertentangan untuk mencapai kualitas seperti emas, tetapi buku ini memberi petunjuk praktis bagaimana memahami kasih Allah yang tak terbatas itu termasuk melalui jalan penderitaan.

Rekomendasi Buku: Arliyanus Larosa, Tegar dalam Penderitaan

KETIKA PENDERITAAN TERJADI, SIAPA YANG SAYA KENAL?

Bagian ketiga buku ini menguraikan kunci utama dalam mengatasi persoalan pelik seputar penderitaan dan perasaan kehilangan. Penderitaan sejatinya merupakan sisi lain dari kemanusiaan. Bagi yang mengalaminya, perasaan kalut dan pikiran tertekan kadang menghilangkan akal sehat. Namun, natur manusia dalam keadaan terhimpit adalah berjuang mencari jalan keluar.  Ada yang berjuang dengan cara yang benar, tetapi tidak sedikit juga yang mengambil jalan pintas yang kadang justru semakin mempersulit keadaan, bahkan ada yang sampai goyah imannya dan menyalahkan Allah. Menurut penulis, akar persoalan penderitaan sebenarnya berpangkal pada terlepas atau terpisahnya manusia dari jangkauan kasih Allah. Mereka yang terpisah dari Allah dan berjuang dengan kekuatan sendiri kerap kali menemui  kekecewaan. Padahal, penyelesaian yang benar, tuntas, dan paripurna atas problem kehidupan hanya terdapat di jalan yang disediakan Allah. Jadi, kebutuhan mendasar manusia adalah mengenal Allah, sumber kekuatan dan pertolongan dalam berbagai situasi kehidupan. Pengenalan yang benar akan atribut-atribut Allah akan memampukan manusia untuk berpikir jernih menyikapi berbagai dinamika kehidupan.

Buku ini mengajak kita melihat beberapa tokoh dalam Alkitab dan cara mereka bersikap serta bertindak mengatasi berbagai persoalan hidup. Abraham, misalnya, ujian yang dijalaninya adalah salah satu peristiwa paling dramatis di dalam Alkitab (Kej. 22:1–18). Ketika diperintahkan untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran, bapa orang beriman itu menaatinya sampai pada saat ia mengangkat pisau, sebelum Allah kemudian turun tangan menyediakan seekor domba jantan sebagai penggantinya. Apakah Abraham mengasihi Ishak lebih daripada ia mengasihi Allah? Itu adalah ujian iman dan kesetiaan. Dapatkah ia taat apa pun alasannya, dan menyerahkan kembali Ishak, anak perjanjian yang sangat dikasihinya, kepada Allah dan hanya berpegang teguh pada firman-Nya? Abraham memutuskan dan sungguh-sungguh menimbang risiko atas ketaatannya. Abraham pun memilih untuk taat dan setia kepada Allah. Alasan Abraham adalah karena ia mengenal Allah dengan baik dan percaya bahwa Allah tidak mungkin merancangkan sesuatu yang buruk atas dirinya.

Seandainya kita diberikan pilihan yang sulit, semestinya kita meneladani Abraham. Mengapa? Jawabannya karena Allah tahu yang terbaik bagi umat kepunyaan-Nya. Oleh sebab itu,  sangatlah tepat apa yang dikatakan C.S. Lewis, “Barangkali mustahil mengasihi manusia terlalu berlebihan. Kita mungkin mengasihi manusia terlalu berlebihan jika dibandingkan kasih kita terhadap Allah, karena bukan besarnya kasih kita kepada manusia yang menyebabkan kekacauan”.  Artikulasi maknanya adalah ketaatan dan kasih kepada Allah harus menjadi prioritas ketika kita dihadapkan pada pilihan sulit dan berisiko. Itulah kunci yang akan membebaskan kita dari pertentangan pikiran dan belenggu penderitaan.

Buku ini diakhiri dengan petunjuk-petunjuk penting dan praktis tentang bagaimana kita dapat terus mengecap sukacita dan memiliki hati yang selalu bersyukur meskipun persoalan, bahkan penderitaan, masih menghadang. Pesan pentingnya adalah kenalilah Allah dengan benar, maka pengenalan itu akan memampukan kita menjalani kehidupan yang berkemenangan di dalam segala situasi kehidupan.

Buku ini dapat menjadi referensi bagi para konselor, gembala sidang, atau mereka pemerhati pelayanan sosial, juga orang-orang yang didera penderitaaan, khusunya penderitaan yang terus berkepanjangan. Penderitaan selalu memiliki dua wajah, yaitu wajah manusia dan wajah ilahi. Wajah manusianya adalah liar, tertekan, mengerut, dan berurai air mata. Wajah Ilahinya adalah tenang, meyakinkan, baik, dan penuh kasih –tetapi juga berurai air mata. Bacalah buku rohani yang kaya dengan nasihat ini, Anda akan diberkati dan bisa menjadi berkat bagi sesama yang membutuhkannya.

 

Yupiter Sepaya

 

BACA JUGA: PANDANGAN TENTANG MANUSIA MENURUT FILSAFAT TEOLOGI KRISTEN

Sampaikanlah Pendapatmu...
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Leave a comment