Masalah Pola Asuh Di Tengah Keluarga
kalamhidup.com – Di dalam kehidupan keluarga, pola asuh yang salah potensial melahirkan anak-anak bermasalah. Misalnya, orang tua yang suka membandingkan anak-anaknya, yang satu lebih disukai karena memiliki kesamaan selera, kegemaran, dan juga ide. Sedangkan anak yang lain tidak begitu disukai. Dalam batas tertentu hal itu dapat dikatakan wajar sebab memang tidak ada manusia yang sungguh-sungguh sama karena masing-masing pasti memiliki keunikan dalam dirinya.
Kisah keluarga Ishak dan Ribka (Kej.25:19-28) merupakan contoh buruk orang tua yang suka membandingkan anaknya. Esau dan Yakub adalah si kembar yang memiliki perbedaan fisik juga kegemaran. Esau gemar berburu dan tinggal di padang, sedangkan Yakub lebih suka tinggal di rumah. Ishak lebih menyukai Esau, sedangkan Ribka lebih menyukai Yakub. Pola pikir suami istri seperti Ishak dan Ribka dapat dikatakan mewakili rekonstruksi berpikir masyarakat umum yang memosisikan laki-laki haruslah menampakkan kegemaran yang maskulin seperti Esau, sedangkan kegemaran memasak lebih cocok dikerjakan perempuan. Dalam konteks apa pun, perlakuan suka ‘membandingkan’ yang dilakukan orang tua jelas sangat tidak sehat dalam konteks pendidikan anak. Kisah keluarga Ishak dan Ribka hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak kesalahan orang tua dalam hal pola asuh anak di tengah keluarga.
PERAN ORANG TUA YANG PALING MENDASAR DALAM POLA ASUH
Dalam buku rohani Kristen berjudul: Masalah Membesarkan Anak, Dr. James Dobson menempatkan ‘kehidupan di dalam keluarga’ sebagai tempat pertama penyemaian nilai. Ini artinya adalah penting bagi setiap orang tua atau orang yang baru menjadi orang tua untuk memiliki pemahaman yang benar tentang prinsip-prinsip membesarkan anak (Pola Asuh) yang aman dan sehat di tengah keluarga. Menurut Dobson, ada dua mercu suar atau lampu pedoman yang wajib dipegang orang tua pada masa tumbuh kembang anak. Pertama, orang tua harus mengatakan kepada anak bahwa, “saya mengasihi kamu, dan bersyukur karena Allah memercayakan saya membesarkan kamu”. Kedua, “karena saya mengasihi kamu, maka saya harus mengajar kamu agar menaati saya, karena itulah satu-satunya cara agar saya dapat memelihara dan melindungi kamu dari hal-hal yang mungkin menyakitimu” (band. Efesus 6:1). Memang tepat, kasih adalah kebutuhan paling hakiki bagi seorang anak. Ketika anak merasa dikasihi, maka anak akan tunduk dan menghargai otoritas orang tuanya. Dampak lebih jauhnya, anak akan dengan senang hati memercayai semua perintah atau aturan yang diberikan orang tuanya termasuk kesediaan menerima konsekuensi ketika melakukan suatu kesalahan (bagian 1, hlm.13-14).
NILAI HIDUP DIMULAI DARI RUMAH
Pembentukan nilai menurut Dobson memang harus di mulai dari keluarga (rumah). Orang tua yang takut akan Tuhan dan mengasihi anak-anaknya merupakan ekosistim yang sehat bagi perkembangan karakter dan kepribadian anak. Karena itu orang tua harus menjadi model (teladan) yang baik bagi anak-anaknya. Dari rumah anak akan belajar pendidikan non formal tentang arti hidup, tata karma, pergaulan, pendidikan seks, hubungan sosial, persahabatan, pentingnya menaruh respek terhadap orang lain dan sebagainya. Intinya rumah adalah sekolah pertama pendidikan nilai sebelum anak memasuki sekolah formal. Agar nilai-nilai hidup terserap dengan baik, maka rumah harus menjadi tempat yang menyenangkan, ada suasana tenang dan damai sehingga anak-anak betah dan tidak lari ke luar. Pertumbuhan yang sehat jasmani dan rohani akan terwujud manakala anak-anak merasa dihargai dan dilindungi oleh orang tuanya di rumah (bagian 2-5).
PENTINGNYA DISIPLIN DAN HUKUMAN
Bagian lain yang tak terpisahkan dari pola pendidikan anak di rumah adalah pentingnya menerapkan dan menegakkan disiplin. Kuncinya, penerapan disiplin harus dimulai sejak anak masih balita, yakni di usia emas pembentukan tuntas karakter seorang anak. Pada masa pertumbuhan tersebut, orang tua wajib memberi penjelasan dan alasan mengapa mereka perlu menerapkan disiplin atau hukuman setiap kali anak melakukan satu kesalahan atau kelalaian. Di sisi lain orang tua juga wajib memberikan pujian atau penghargaan mana kala anak melakukan hal yang benar dan positif. Tujuannya agar anak mengerti peranan disiplin sebagai rambu-rambu moral etis yang harus dipatuhi agar ia tidak salah melangkah atau bertindak.
Ketika anak melanggar disiplin atau aturan yang sudah ditetapkan, maka orang tua wajib memberikan teguran atau jika sudah keterlaluan diberi hukuman (pukulan) sebagai bentuk pendisiplinan. Namun kapan, dan bagaimana, sebuah hukuman diberikan, menurut Dobson haruslah memerhatikan asas keseimbangan di mana disiplin dapat dilaksanakan ketika sebuah pelanggaran sudah terbukti dengan jelas. Tetapi penting diingat bahwa penerapan disiplin itu haruslah disertai kesabaran, dan hormat, serta kasih. Karena itu adalah sangat tidak tepat jika orang tua karena merasa berwenang maka langsung “main tempeleng di tempat”. Yakinlah cara yang jahat dan kasar pasti melukai jiwa anak dan luka tersebut tidak akan mudah hilang. Itulah sebabnya tindakan kasar dan emosional sangat tidak dianjurkan dan harus dihindari. Artinya orang tua harus mampu mengedalikan diri dan tidak bertindak semena-mena. Ingat anak yang masih kecil tidak bisa membela diri, karena itu mereka harus dilindungi agar tidak timbul sakit hati dan kepahitan (bagian 6-9).
DINAMIKA DAN PERSAINGAN DI MASA PERTUMBUHAN
Masa kanak-kanak adalah masa penuh persaingan baik antar kakak dengan adik maupun dengan anak lainnya. Menurut Dobson, jika ditanyakan kepada semua orang tua maka dengan suara bulat mereka akan mengatakan bahwa persaingan antar anak adalah hal paling menjengkelkan. Mengapa? Ya karena anak-anak kecil (dan juga yang lebih besar yang bersaing) tidak akan puas hanya dengan saling menyerang, mereka akan mengerahkan pasukan mereka dan akan menyerang sisi lemah dari garis pertahanan lawan. Mereka akan bertengkar, saling pukul, saling tendang, saling ejek, dan lainnya demi melumpuhkan lawan. Persaingan antar anak memang sulit terhindarkan. Penyebab paling umum adalah karena anak ingin membuktikan keunggulan dirinya terhadap anak lainnya. Itulah sebabnya orang tua harus menjaga diri agar tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat membandingkan, atau secara rutin memuji satu anak dan menjelekkan yang lain.
Ada alasan mendasar mengapa anak-anak tidak boleh diperbandingkan. Pertama, anak-anak sangat peka dengan keadaan jasmani dan ciri-ciri tubuh mereka. Orang tua dapat membangkitkan permusuhan jika memuji satu anak dan menjelekkan yang lain. Kedua, kecerdasan setiap anak juga merupakan masalah yang peka dan akan menjadi masalah besar jika orang tua memperbandingkan di depan anak-anaknya. Ketiga, anak-anak (terutama anak laki-laki) sangat suka bersaing dalam hal pamer kemampuan. Anak-anak yang lebih lemah, lebih lamban, dan kurang cekatan jarang sekali dengan hati lapang dapat menerima dirinya berada pada posisi “bukan yang nomor satu”. Artinya, persaingan adalah bagian dari faktor individu dalam diri anak yang tidak harus dihilangkan. Menyikapinya, orang tua memerlukan kepekaan dan kemampuan untuk mengelola setiap potensi anak agar tercipta suasana yang kondusif bagi pertumbuhan karakter yang positif (bagian 10).
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN TENTANG POLA ASUH ANAK
Masalah Membesarkan Anak, memang memiliki dimensi luas, karena itu Dobson melengkapi bahasannya dalam buku ini dengan menjawab tuntas pertanyaan penting lainnya seperti: bagaimana mengajar anak-anak bertanggung jawab, bagaimana menghadapi anak yang hiperaktif, bagaimana menghadapi anak remaja dengan segala pertanyaannya, dan bagaimana pengaruh televisi serta media informasi lainnya terhadap perkembangan anak (bagian 11-15). Buku ini dapat menjadi panduan praktis dalam hal pola asuh karena bahasannya tidak bersifat teoritis.
Sebagai konselor keluarga yang handal, Dobson langsung membahas dan menjawab 212 pertanyaan yang paling sering diajukan menyangkut kasus-kasus umum yang banyak memusingkan orang tua. Misalnya: Berapa banyak pekerjaan yang dapat dibebani pada seorang anak? Bagaimana kita dapat mengendalikan anak agar tidak terlalu banyak nonton TV tapi tanpa memberi banyak peraturan atau larangan? Bagaimana menanamkan konsep Allah di dalam pikiran seorang anak? Apa yang ada di dalam benak seorang anak apabila ia secara terang-terangan melawan orang tuanya? Apa yang saya harus katakan jika saya membicarakan soal seks dengan anak saya yang praremaja? Dan banyak pertanyaan lainnya. Orang tua yang dewasa dan mengasihi anak-anaknya perlu memelajari dan menerapkan konsep-konsep yang tepat dalam pendidikan anak.
Buku praktis ini dapat menjadi sumber yang kaya karena di dalamnya tercakup prinsip-prinsip tentang bagaimana menjadi orang tua yang bertanggung jawab yang bertindak dan mendidik anak dengan mengutamakan kepentingan anak, menghargai martabat dan nilai-nilai pribadi dari setiap anggota keluarga, tahu dan mengerti batas-batas yang realistis yang harus dilaksanakan dalam pendidikan anak. Buku ini sangat tepat bagi semua orang tua karena memberi tuntunan praktis dengan cara membahasakan ulang tentang peran orang tua yang sebenarnya sudah ada dalam Alkitab sejak berbad-abad lamanya sehingga relevan dengan konteks masa kini.
Yupiter Sepaya
1 Comment