Skip to content Skip to footer

DUNIA KERJA DAN PERGUMULANNYA

kalamhidup.com Sejak penciptaan manusia telah diamanatkan Allah untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya (Kej. 2:15). Namun sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, aktivitas bekerja berubah menjadi episode “bersusah payah mencari rezeki…dan berpeluh” (Kej.3:17-19). Artikulasi maknanya adalah manusia wajib bekerja keras agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Dalam pemahaman ini berarti tidak ada ruang bagi kemalasan (band. 2 Tes.3:10). Namun di era kini, atas nama kerja keras dan perjuangan hidup tidak sedikit pelaku kerja khususnya pasangan yang sudah berumah tangga mengalami banyak pergumulan akibat kelelahan fisik maupun mental sehingga menimbulkan disharmoni di tengah keluarga bahkan dalam relasi sosial yang lebih luas.

 

AKAR MASALAH

Waktu kerja di Indonesia berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi; (a) tujuh jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau (b) delapan jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari dalam satu minggu,” bunyi Pasal 77 ayat (2). Perhitungan waktu kerja normal di atas jika ditambahkan waktu perjalanan dari rumah ke tempat kerja pulang pergi dengan tingkat kemacetan terutama di kota-kota besar pasti waktu yang dihabiskan per hari akan lebih panjang apalagi jika harus lembur.

Realitasnya para pelaku kerja rata-rata menghabiskan waktu siang hari di tempat kerja dan pulang menjelang malam atau malam hari dengan badan lelah. Kelelahan fisik dan mental yang akumulatif biasanya rentan memicu banyak kesenjangan, misalnya minimnya waktu berkumpul dengan keluarga, distorsi  komunikasi, dan aspek lainnya.

Pergi pagi pulang sore/malam adalah rutinitas para pekerja, sebuah irama yang menggerus waktu dan menyisakan kelelahan bagi keluarga. Situasi demikian tentu rawan dan potensial memunculkan berbagai ketegangan atau persoalan jika tidak disikapi dengan baik. Bagi suami istri karir persoalan akan bertambah ketika dihubungkan dengan anak mereka. Siapa yang menjaga, mengasuh dan memberi makan. Bagaimana pola asuhnya, pendidikan, dan keselamatannya. Menyeimbangkan tanggung jawab mencari nafkah dan tanggung jawab terhadap keluarga (anak) selalu menjadi persoalan pelik bagi suami istri karir.

Mencermati pergumulan suami istri karir, menarik mengutip hasil penelitian yang dilakukan James Dobson, seorang pakar konseling keluarga terkemuka dari Amerika Serikat. Dobson menyatakan bahwa beban pekerjaan merupakan penguras utama tenaga suami istri karir dan hal ini menempati ranking pertama sebagai pemicu kehancuran keluarga. Pernyataan Dobson di atas jika dikomparasi ke dalam  konteks Indonesia tentu sangat relevan karena dunia kerja di manapun pasti  menuntut porsi waktu yang maksimal.

Dengan peta persoalan seperti di atas semestinya para pelaku kerja perlu memahami pentingnya man  ajemen waktu kerja dan waktu bagi keluarga. Hal ini penting karena salah satu tujuan orang bekerja adalah memenuhi kebutuhan keluarga dan hal ini merupakan tanggung jawab terhadap keutuhan dan harmonisan keluarga. Keluarga yang harmonis adalah produk dari orangtua yang peduli dengan keluarganya dalam segala aspek termasuk pendidikan nilai di tengah keluarga. Nilai itu sendiri adalah hal-hal yang penting dan berguna bagi kehidupan.

Menurut Ted Ward, nilai itu harus ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya dan penanaman itu harus dimulai dari dari rumah melalui permodelan yang dicontohkan oleh setiap orang tua. Tantangannya adalah bagaimana suami istri karir dengan waktu yang terbatas dan fisik yang lelah mampu menjalankan peran sebagai orangtua yang edukatif? Tentu saja manajemen waktu yang berkualitas perlu ditata dan dialokasikan untuk dilakukan. Dalam konteks pergumulan para pelaku kerja memang tidak dapat digeneralisir bahwa semua pelaku kerja keadaannya “seburuk” seperti diuraikan di atas.

Kabar baiknya adalah masih banyak pelaku kerja yang memiliki keseimbangan yang sehat dalam manajemen waktu kerja dan waktu untuk keluarga. Buktinya banyak pelaku kerja yang sukses dalam karier dan bahagia keluarganya (hal ini akan dibahas pada tulisan yang lain). Pada tulisan ini dalam kerangka mencermati tantangan dan pergumulan di dunia kerja, sorotan hanya akan difokuskan pada beberapa pergumulan yang umum dialami pelaku kerja khususnya yang sudah berumah tangga dan memiliki anak, namun kurang memiliki keseimbangan waktu yang baik sehingga hal itu berdampak kurang baik pada tiga aspek yakni: mental, sosial, dan spiritual anak.

 

DAMPAK SECARA MENTAL

Dampak secara mental menunjuk kepada adanya gangguan emosi, pola pikir, dan perasaan. Hal ini terjadi manakala anak yang ditinggal kerja oleh kedua orantuanya lebih banyak menghabiskan waktunya bersama “orang lain”. Pola asuh yang sering berganti-ganti biasanya menempatkan anak di bawah peraturan yang berubah-ubah dan nilai yang berbeda-beda pula. Akibatnya anak sulit mengambil keputusan karena sistem nilai yang diterima membuatnya menjadi bingung.

Anak yang dibesarkan dalam kondisi demikian akan mewarisi sikap mental  negatif yang berpengaruh pada perjalanan hidupnya. Salah satunya adalah munculnya perasaan tidak berharga akibat dianggap tidak penting sebagai seorang pribadi. W.S. Heath, mengatakan mental anak terbentuk berdasarkan apa yang disaksikan di lingkungan terdekatnya terutama di usia emas (lima tahun pertama). Diusia emas ini pembentukan karakter anak sudah tuntas terbentuk oleh lingkungan terdekatnya (keluarga).

Orangtualah yang semestinya menyemaikan nilai-nilai dan memberi keteladanan, namun sayangnya hal ini seringkali sulit dilakukan oleh suami istri yang sibuk bekerja. Akibat lain dari anak-anak yang kurang terperhatikan adalah sikap rendah diri. Perasaan ini timbul karena kurangnya perhatian, penghargaan, dan rasa hormat dari orangtua terhadap anak. Memerhatikan, menghargai, dan  menghormati seorang anak bukanlah sekadar memenuhi kebutuhan jasmani atau memberikan sesuatu berdasarkan penampilan fisik atau karena prestasi tertentu, melainkan menempatkan kedudukan anak sebagai individu yang layak dikasihi dan didengar.

Anak-anak yang terganggu secara mental biasanya memunculkan perilaku negatif seperti suka mengeluh, gampang marah/emosional, mudah menyalakan orang lain, tidak mau disalahkan, tidak betah di rumah, kurang menghargai orangtua dan orang lain, tergesa-gesa, mental rapuh, tidak tenang, memberontak, bersikap kasar, trouble maker, dan lain-lain.

 

DAMPAK SECARA SOSIAL

Keluarga adalah unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui keluargalah anak belajar tentang nilai dan arti membangun relasi sosial yang sehat dengan sesama. Sikap dan cara orangtua memperlakukan seorang anak akan memengaruhi dan menjadi model yang aktual bagi anak ketika mereka berinteraksi dengan orang lain. Itulah sebabnya orangtua mestinya harus lebih dari sekadar ayah dan ibu yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Orang tua juga dituntut mampu berperan dan bertindak sebagai “guru” bagi anak-anaknya karena keteladanan orangtua menjadi faktor penentu perilaku seorang anak. Namun sayangnya karena sibuk mengejar karir, tidak sedikit orangtua yang abai memerhatikan  pentingnya menjadi “model kehidupan sosial” yang seharusnya diperankan dari lingkup keluarga (harus dimulai di rumah). Berikut ini beberapa dampak secara sosial yang muncul akibat  orangtua gagal menjalankan perannya.

Pertama, anak kurang memiliki kepekaan sosial. Orangtua yang sibuk pasti memiliki sedikit waktu untuk bercakap-cakap dan mendengar keluh kesah anak. Orangtua mungkin suka “mendengar” anaknya ketika berbicara tetapi pada hakikatnya mereka tidak “mendengarkan”. Ini adalah distorsi komunikasi yang umum terjadi dalam hubungan suami istri bekerja dengan anak mereka. Anak yang sering “dilupakan” karena orantuanya hanya sibuk dengan pekerjaan. Ini namanya pengabaian. Anak yang sering diabaikan potensial bertumbuh menjadi  generasi apatis alias masa bodoh yang kurang peka dan respek terhadap sesamanya.

Kedua, anak lari keluar. Sikap ini merupakan ekspresi ketidakpuasan akibat seringnya hak seorang anak diabaikan. Orangtua yang terlalu asyik dan tenggelam dalam dunia kerja adakalanya sudah kehabisan energi ketika pulang ke rumah. Maka tidak heran  untuk sekedar melakukan hal-hal yang ringan seperti menemani bermain atau mengerjakan “PR” orangtua sudah menyerah. Artinya kebutuhan anak akan pendampingan dan kasih sayang tidak diakomodir oleh orangtuanya. Adalah tepat apa yang dikatakan Edwin Louis Cole bahwa kebanyakan dari kelakuan buruk dan masalah anak timbul karena kebutuhan fisik dan emosioal anak tidak terpenuhi di rumah.

Ketika seorang anak sudah merasa tertolak di rumah dan ia kemudian mencari pemenuhan di luar, maka dampak yang dikuatirkan adalah anak akan sulit menyaring nilai-nilai sehingga rentan terjerumus dalam perilaku dekstruktif dan menyimpang dari asas-asas kepatutan. Dan persoalan anak yang lari keluar akan menjadi rumit karena banyak orangtua yang menganggap bahwa anaknya tidak mampu mengembangkan sikap hidup yang positif. Karena itu orangtua berpikir anaknya harus dididik dan memerlukan disiplin yang tegas agar menjadi seperti yang diinginkan orangtuanya.

Kesalahpahaman seperti ini justru semakin memperburuk keadaan dan mendorong timbulnya persoalan yang lebih luas dalam relasi sosial seorang anak. Tentu diperlukan langkah pencegahan dan itu harus dimulai dengan menyadarkan suami-istri karir tentang pentingnya kehadiran dan kepedulian orangtua dalam memenuhi kebutuhan sosial anak. Dan hal ini harus dimulai dari rumah di mana peran orangtua sebagai model kehidupan sosial terdekat bagi anaknya semestinya diperankan dengan baik.

 

DAMPAK SECARA SPIRITUAL

Kehidupan rohani anak seringkali tidak menjadi prioritas bagi banyak orangtua. Lebih-lebih bagi orangtua karir yang bekerja termasuk di hari minggu. Mereka beralasan anak-anak cukup seminggu sekali dibawa ke gereja dan mendapat pelayanan dan pembinaan di sekolah minggu. Sikap demikian tentu  saja menjadi akar dari beragam masalah rohani anak karena orangtua mengesampinkan tanggung jawab pembinaan di lingkup keluarga.

Menarik mengutip pandangan Sinclair Ferguson yang mengatakan, “Menjadi seorang Kristen berarti mengenal Allah. Bertumbuh sebagai seorang Kristen berarti semakin ingin mengenal-Nya”. Pandangan ini memberi pengertian bahwa bertumbuh secara rohani perlu diterapkan kepada anak-anak sebab hal itu adalah kehendak Allah. Ini artinya sikap orangtua yang menghargai Injil dan pengenalan akan Allah semestinya menjadi “model” dan warna kehidupan setiap hari yang bisa dibaca oleh anak-anak mereka.

Pengaruh kehadiran orangtua bagi seorang anak didalam satu penelitian seperti yang dilakukan Aaron Antonovsky, memberikan hasil yang menyatakan bahwa anak dapat hidup sehat secara rohani oleh karena meyakini bahwa dunia yang dia pahami dikelola dengan baik dan bermakna. Inilah yang dikenal dengan terbentuknya koherensi spiritual anak yakni adanya keselarasan antara pemahaman anak tentang nilai-nilai rohani dan praktik hidup yang dijalaninya.

Dengan demikian orangtua dituntut untuk berperan dan mendorong pertumbuhan spiritual anak dengan memosisikan diri sebagai pembimbing rohani bagi mereka. Ini berarti sesibuk apapun, orangtua harus bisa mengalokasikan waktu untuk menyemaikan nilai-nilai spiritual bagi anak-anaknya. Dalam hal praktis nilai-nilai itu dapat diejawantahkan melalui kehidupan beribadah misalnya pergi beribadah bersama ke gereja setiap hari minggu, adanya saat teduh  dan doa bersama anak, keaktifan dalam kegiatan gerejani, dan kegiatan rohani lainnya.

 

SIMPULAN

Dari urain di atas dapat disimpulkan bahwa dampak negatif secara mental, sosial, dan spiritual merupakan akibat dari buruknya manajemen waktu yang melulu berorientasi hanya kepada pemenuhan kebutuhan jasmani. Sementara kebutuhan rohani keluarga tidak mendapat porsi waktu yang cukup bahkan seringkali terabaikan. Menyikapi kondisi demikian maka satu-satunya cara untuk terciptanya keseimbangan antara waktu kerja dengan keluarga adalah dengan membuat prioritas dengan menerapkan alokasi waktu yang bermutu.

Tugas orangtua adalah mengisi waktu-waktu kebersamaan dengan pola interaksi verbal yang berkualitas. Kualitas ini harus dikedepankan ditengah terbatasnya waktu berkumpul bersama anak. Kualitas dimaksud berarti bicara tentang membangun hubungan yang sehat sehingga berdampak kepada aspek komunikasi, pemahaman, pengertian, empati, dorongan dan pemberian motivasi serta sikap yang rela untuk mendengar dan menghargai anak sebagai individu yang perlu diberi prioritas dan perhatian yang cukup. Semua kualitas ini harus diejawantahkan dan dilakukan oleh ayah dan ibu.

Kalau kualitas hubungan diperbaiki dan nilai-nilai alkitabiah diterapkan dengan baik, maka anak akan diperkuat dalam segala aspek hidup sesuai dengan kehendak Allah. Dan mereka akan menjadi dewasa untuk melihat dan membedakan apa yang berkenan kepada Allah dan yang selaras dengan firman-Nya. Dengan demikian anak-anak akan merasa dirinya berharga dan dituntun kepada jalan-jalan yang Allah rancangkan kepada mereka. Sebab anak-anak itu adalah titipan Tuhan yang harus dijaga, dipelihara, dan diarahkan/dibimbing ke jalan yang benar agar kelak mereka menjadi individu yang sempurna dalam kasih kepada Tuhan dan sesamanya.

 

Yupiter Sepaya

 

Sumber:

  1. Doug Sherman & William Hendrick, Pekerjaan Anda Penting Bagi Allah (Bandung: Kalam Hidup 1997).
  2. Edwin Louis Cole, Tetap Tegar Di Tengah Masa Sukar (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2008)
  3. Jarry & Mary White, On The Job (Colorado: Navpress, 1989)
  4. S. Heath, Teologi Pendidikan Anak (Bandung: Kalam Hidup, 2005).
  5. Bob Cratchit, Integrity@Work (Yogyakata: Penerbit Andi, 2008).
  6. James Dobson, Panduan Lengkap Kehidupan Keluarga (Batam: Gospel Press. 2004)
  7. Sinclair B. Ferguson, Bertumbuh Dalam Anugerah Surabaya: Penerbit Momentum, 2005)
  8. Ted Ward, Nilai Hidup Dimulai Dari Rumah (Malang: Penerbit Gandum Mas)
Sampaikanlah Pendapatmu...
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Leave a comment